Gundala-gundala, Tarian Duka

/
1 Comments
Gundala-Gundala

Kesenian tradsional merupakan budaya leluhur yang wajib kita lestsrikan. Berbicara mengenai budaya, pasti yang dibenak seseorang bermacam-macam, bisa berisikan tarian, makanan, benda pusaka, pakaian adat, maupun yang lainnya. Jika ada seseoraang yang tak melestarikan budayannya, dipastikan bahwa dia tak bisa mencintai budaya yang ada padanya, jangankan terhadap budaya, bisa saja terhadap dirinya ia sulit untuk mencintai.

Tarian Gundala-Gundala merupakan tarian para leluhur yang sampai sekarang masih dilakukan masyarakat Desa Seberaya, Tanah Karo. Penari yang menarikan ini menggunakan topeng kayu dan dilakukan untuk memanggil hujan (ndilo wari udan).

Pada mulanya, atraksi ini mengisahkan legenda atau dongeng perik si Gurda-Gurdi. Dahulu di dataran tinggi Karo ada raja Sebayak dan memiliki putri cantik. Seorang pemuda yang berasal dari rakyat biasa jatuh cinta kepada putri dan dengan ilmu dan kesaktiannya, akhirnya menyamar dan mengubah dirinya menjadi Manuk Sigurda Gurdi yang cantik berbulu dan berekor indah agar menarik perhatian putri.

Strategi dan cara yang dilakukan pemuda maha sakti itu dengan mengubah dirinya menjadi Manuk Sigurda-Gurdi menarik perhatian putri untuk dapat membelainya serta meminta kepada raja untuk membuat satu pesta yang besar dan mengajak burung tersebut untuk menari bersama dengan diiringi musik. 

Raja mengabulkan permintaan putri dan memanggil semua masyarakat untuk berpesta bersama. Di sisi lain, pantangan Burung raksasa Manuk Sigurda Gurdi ini yang telah disumpahkannya yakni paruhnya yang merupakan simbol kehormatannya tidak boleh dipegang oleh siapapun. Karena berakibat dirinya akan abadi sebagai Manuk Sigurda gurdi dan tidak bisa kembali menjadi manusia.

Dalam pesta yang meriah itu, tanpa sengaja putri memegang paruh manuk Gurda Gurdi yang membuat burung ini berang dan tidak menunjukkan sikap bersahabat. Mengetahui keadaan ini, panglima raja berusaha membujuk Gurda Gurdi dengan mengelus paruh burung tersebut.

Gurda Gurdi membuat kemarahan yang berulang, karena paruh Gurda Gurdi kembali dielus, padahal tindakan tersebut menyebabkan Manuk Sigurda gurdi tidak bisa lagi berubah wujud menjadi manusia. Manuk Gurda Gurdi marah besar, dengan mata merah dan bulu berdiri, dia melakukan sambaran dan pukulan ke arah Panglima.

Melihat bahwa pertarungan ini telah menimbulkan keresahan bagi raja dan seluruh istana, raja memerintahkan para pengawalnya untuk membantu panglima dengan menyalurkan tenaga dalam dari jarak jauh. Akibatnya Manuk Gurda Gurdi terhempas ke tanah terkena pukulan yang mematikan di kepalanya. 

Kematian Manuk Gurda Gurdi dihormati sebagai kematian seorang pahlawan Kerajaan, seluruh istana berkabung, rakyat ikut berkabung dan hari tiba-tiba mendung dan menitikkan air tanda berkabung dan hujan yang sangat deras melanda seluruh negeri.

Kesenian ini pada waktu lalu digelar masyarakat Karo ketika terjadi musim kemarau berkepanjangan untuk mendatangkan atau memanggil hujan. Saat ini penari dan pemain topeng Gundala Gundala hanya ada di Desa Lingga dan Seberaya dan asli topeng tersebut saat ini tersimpan di Desa Seberaya. Pembuat Gundala-Gundala (tembut-tembut Seberaya)  bermarga Sembiring Depari yang memiliki jiwa seni.

Uniknya, setiap topeng asli ini hendak dikeluarkan, terlebih dahulu harus dilakukan ritual dalam bentuk air pangir dan memberikan lau penguras kepada ke 5 topeng Gundala Gundala tersebut. Sampai sekarang topeng itu masih ada dan diwariskan kepada cucu pembuat topeng tersebut.

Topeng ini merupakan Gundala-Gundala yang paling bagus bahkan pernah juga dibawa ke Paris dan banyak tempat lainnya. Menurut cerita dari mulut ke mulut masyarakat Desa Seberaya, topeng Gundala Gundala ketika dibuat, terjadi hujan dan guntur yang saling "menyahut" . 

Pohon nangka yang akan digunakan sebagai bahan pembuatan topeng Gundala Gundala tersebut, merupakan pohon nangka  keramat . Dan untuk menebang pohon nangka ini harus melakukan ritual adat terlebih dahulu.

Anehnya, dalam setiap atraksi atau tarian Gundala-Gundala dilaksanakan dalam upacara Ndilo Wari Udan akan diakhiri dengan suatu keadaan awan yang mendung dan gelap disertai dengan turunnya hujan yang deras. 

Patung Gundala-Gundala tiruan ternyata dimanfaatkan oleh Museum Sumatera Utara menjadikan barang pusaka dan menyimpannya. Dalam kegiatan PRSU, terlihat patung tersebut berdiri tegak tepat di depan stand Museum. Bagi konkawan yang penasaran, dapat melihat secara langsung dan mendengar kisahnya lewat penjaga stand.


You may also like

1 komentar:

Instagram