Syarat-syarat Instumen yang Baik (Valid, Reliabel, Objektif, Praktis, Norma)”

/
0 Comments

Ciri-ciri Instrumen yang Baik

Pengukuran (measurement) akan menghasilkan suatu deskripsi kuantitatif tentang aspek yang diteliti. Alat yang digunakan adalah tes yang distandardisasikan (Standardized test), yang memuat koleksi persoalan, pertanyaan atau tugas, yang dianggap representatif bagi aspek yang bersangkutan (sample of items). Standardisasi berarti, bahwa cara penyelenggaraan tes, cara memeriksanya dan penentuan norma penafsiran adalah seragam.
Norma penafsiran ditentukan dengan memberikan tes itu kepada kelompok besar orang yang dianggap representatif (sample) bagi semua subjek yang akan dikenai tes itu (populasi), dengan menentukan hasil rata-rata (skor rata-rata, skor deviasi). Tes merupakan instrumen penelitian yang objektif, dalam arti bahwa penyelenggaraan,  pemeriksaan atau skoring, dan penafsiran tidak tergantung pada pendapat pribadi orang yang menggunakan alat itu, juga validitas dan taraf reliabilitas keseluruhan tes serta taraf kesukaran dan taraf diskriminasi masing-masing item dalam tes.
A.    Validitas
Suatu instrumen dikatakan valid atau mempunyai validitas yang tinggi apabila alat itu bentuk mampu mengukur dan menilai apa yang ingin diukur atau dinilai. Oleh karena itu validitas suatu intrumen merujuk kepada ketepatan suatu intrumen menilai apa yang ingin dinilai, suatu instrumen dirancang untuk suatu objek assessmen dan tidak valid untuk yang lain, karena setiap intrumen dirancang untuk tujuan tertentu, sehingga kisi-kisi yang disusun berdasarkan tujuan yang telah dirumuskan sebelumya.
Anastasi dan Urbina (dalam Lufri, 2007) menyatakan bahwa validitas adalah suatu ukuran yang menunjukkan sejauhmana suatu alat ukur itu dapat mengukur apa yang hendak diukur. Oleh karena itu, validitas suatu instrumen merujuk kepada ketepatan suatu instrumen mengukur apa yang ingin diukur.
Menurut A. Muri, Yusuf (2005:64) konsep validitas menunjukkan kesesuaian, kebermaknaan, dan kebergunaan, kesimpulan-kesimpulan yang dibuat berdasarkan skor instrumen. Sedangkan menurut Sugiyono (2010:212) valid adalah berarti instrumen (alat) tersebut dapat digunakan untuk mengukur apa yang harus diukur.
Menurut Winkel, W.S (1997) Pengertian validitas  menunjuk pada kesesuaian antara apa yang diteliti dalam tes dengan aspek yang direncanakan untuk diteliti melalui tes itu; misalnya, bilamana suatu tes intelegensi memiliki validitas yang tinggi, berarti bahwa tes itu benar-benar mengukur kemampuan untuk mencapai prestasi di sekolah, yang di dalamnya berpikir memegang peranan pokok. Terdapat empat jenis validitas, yaitu validitas isi (content validity), validitas peramal (predictive validity), validitas perbandingan (concurrent validity), dan valitidas konseptual (construct valitidy). Jenis validitas tes yang paling relevan bagi pelayanan bimbingan di sekolah adalah validitas isi dan validitas peramal. Karena lebih berguna bagi keperluan bimbingan daripada suatu tes yang baru saja dikembangkan dan hanya diketahui taraf validitas perbandingan atau taraf konseptual.
Validitas tidak berlaku universal sebab bergantung pada situasi dan tujuan penelitian. Instrumen yang telah valid untuk suatu tujuan tertentu belum otomatis akan valid untuk tujuan yang lain. Menurut Joko Subagyo (1997:38) mengemukakan bahwa faktor penunjang diperolehnya data yang valid adalah:
1.      Kualitas pengambil data, secara relatif dapat diharapkan dalam mencapai keinginan permasalahan yang dirumuskan.
2.      Alat yang tersedia, lengkapnya alat pengumpul data yang ditunjang persiapan matang akan dapat menggali informasi dalam menentukan hasil penelitian.

B.     Reliabelitas
Menurut A. Muri Yusuf (2011:78) reliabilitas adalah ketepatan pengukuran, tetapi tentang konsistensi dan ketelitian dalam mengukur apa yang harusnya diukur. Sedangkan menurut  Wrigtstone (dalam A. Muri Yusuf 2011:78) mengemukakan bahwa “reliability is commonly defined asa an estimate of degree of consistence, constancy among repeated measurements of individuals with the same instrument”.
Reliabilitas atau keterandalan suatu instrumen sebagai alat ukur dimaksudkan untuk mengetahui sejauh mana kebenaran suatu alat ukur tersebut cocok digunakan sebagai alat ukur untuk mengukur sesuatu. Anne Anastasi (1998:63) mengemukakan bahwa reliabilitas merujuk pada konsistensi skor yang dicapai oleh orang yang sama ketika mereka diuji ulang dengan tes yang sama pada kesempatan yang berbeda, atau dengan seperangkat butir-butir ekuivalen yang berbeda, atau di bawah kondisi pengujian yang berbeda. Dikatakan juga sebagai ketahanan ujian sesuatu pada tingkat mana, jika diadakan pengujian ulang dengan menghasilkan hasil yang sama.
Menurut Sugiyono (2012:174) mengemukakan bahwa reliabilitas instrumen merupakan syarat untuk menguji validitas instrumen. Pengujian reliabilitas instrumen perlu dilakukan adalah:
1.      Suatu hasil pengukuran dapat dipercaya apabila dalam beberapa kali pelaksanaanya pengukuran terhadap kelompok subjektif yang sama diperoleh hasil pengukuran yang relatif sama.
2.      Reliabilitas adalah sejauh mana pengukuran dari suatu uji coba yang dilakukan tetap memiliki hasil yang sama meskipun dilakukan secara berulang-ulang terhadap subjek data dalam kondisi yang sama.
3.      Uji reliabilitas bertujuan untuk melihat sejauhmana konsistensi skor terhadap suatu instrumen.
Suatu intrumen yang baik harus valid dan reliable namun perlu dicermati dengan baik pernyataan berikut : suatu yang valid atau sahih adalah reliable, tetapi sesuatu intrumen yang reliable belum tentu valid. Reliabilitasi suatu intrumen menunjuk pada ketetapan, konsistensi, atau stabilitas intrumen atau suatu pengukuran yang dilakukan, Pada bulan September 1986 seorang pendidik mengemukakan intrumen intelegensi pada peserta didik setelah diskor ternyata  A =130. B = 120, sebulan kemudian peserta didik yang sama diukur lagi dengan intrumen intelegnsi yang digunakan pada bulan September 1986 itu ternyatanya sebagai berikut : A= 132, B=121. Perbedaan intelegensi pada periode pertama dan kedua setelah diuji secara statistic ternyata tidak berbeda secara berarti atau skor mereka mempunyai korelasi yang tinggi, maka dikatakan intrumen itu mempunyai  realibilitas yang tinggi.
C.    Objektif
Menurut A. Muri Yusuf (2005:62) objektif suatu alat ukur menunjuk kepada kesamaan skor atau diagnosis yang diperoleh dari data yang sama apabila dilakukan oleh penskor/penilai dengan kualitas yang sama. Penskor hendaknya menilai/menskor apa-adanya, tanpa dipengaruhi oleh subjektif penskor atau faktor-faktor lainnya diluar yang tersedia.
Seandainya suatu instrumen diadministrasikan pada seorang anak, dan kemudian diperiksa oleh dua orang pemeriksa, maka anak tersebut tidak akan berbeda secara berarti. Suatu instrumen diadministrasikan secara objektif, apabila instrumen itu diberikan sesuai dengan manual atau patokan pengadministrasian yang telah disediakan.
Pada suatu tes yang objektif, pengambil tes (testi) seharusnya memperoleh skor yang sama dari pemberi skor (skorer dan/tester) yang berbeda. Dengan demikian, yang objektif itu adalah penilainya. Sebuah tes dikatakan bersifat objektif apabila dalam pelaksanaan, penilaian dan pengartian nilainya tidak tergantung pada penilaian subjektif dari satu pihak yang terkait dengan kegiatan tersebut.
D.    Praktis
      Ciri-ciri tes yang memenuhi persyaratan pratikalitas yang dijelaskan oleh A Muri Yusuf (2005:103) adalah sebagai berikut:
1.      Biaya yang digunakan tidak terlalu tinggi
Faktor biaya merupakan faktor yang tampaknya tidak penting tetapi perlu diperhatikan. Testing adalah sesuatu yang tidak mahal, namun kalau digunakan dengan cara yang tidak tepat akan mempengaruhi pelaksanaan tes itu. Sehubungan dengan itu akan lebih baik bila dirancang suatu tes yang dapat dipakai secara berulang-ulang sehingga akan menimbulkan penghematan dalam biaya.
2.      Mudah diadministrasikan
a.       Alat ukur itu mudah diberikan kepada mahasiswa, dengan petunjuk yang jelas bagaimana cara mengerjakannya dan mudah dimengerti, sehingga dosen tidak perlu lagi memberikan penjelasan-penjelasan.
b.      Alat ukur itu mudah dilaksanakan dan waktu yang disediakan cukup dibandingkan dengan tingkat kesukaran alat ukur itu.
c.       Mudah dikumpulkan kembali setelah waktu yang tersedia untuk mengerjakan habis.
3.      Mudah diskor
a.       Ada standar yang dapat digunakan sehingga hasilnya lebih homogen.
b.      Siapa saja yang memeriksa kertas jawaban ujian dalam waktu yang berlainan, hasil/skornya tidak akan berubah
c.       Waktu yang digunakan untuk memeriksa hasil ujian itu tidak terlalu lama.
d.      Pemeriksa hasil ujian itu tidak perlu orang yang ahli betul dalam bidang yang di tes itu.
4.      Mudah diinterpretasikan
Skor yang didapat sebagai hasil dari pengukuran belum mempunyai arti kalau skor itu tidak diterjemahkan atau diinterpretasikan.
5.      Waktu yang tepat dan tidak terlalu lama
Tes yang pengerjaannya memakan waktu terlalu lama akan membosankan dan sebaliknya tes yang terlalu cepat juga merugikan, walaupun tes itu mungkin power test atau speed test.
E.     Norma
A Muri Yusuf (2005:106) mengemukakan bahwa untuk mendapatkan informasi dan pengambilan keputusan yang tepat, maka alat ukur yang baik haruslah mempunyai norma sebagai patokan, sehingga memberikan kesimpulan yang tepat. Norma alat ukur ditentukan oleh tujuan yang ingin dicapai.
Anne Anastasi (1998:36) menjelaskan bahwa skor-skor pada tes psikologis paling umum diinterpretasikan dengan acuan pada norma-norma yang menggambarkan kinerja tes dari sampel standardisasi. Dengan demikian, norma-norma secara empiris ditetapkan dengan menentukan apa yang sesungguhnya dilakukan oleh orang-orang dalam kelompok representatif itu.







KEPUSTAKAAN
Yusuf, A  Muri. 2011. Asesmen dan Evaluasi Pendidikan. Padang: UNP Press
Winkel, W.S. 1997. Bimbingan Dan Konseling Di Institusi Pendidikan (Edisi Revisi). Jakarta: PT. Gramedia Widiasarana Indonesia
Anastasi, Anne. 2007. Psichological Testing (Alih Bahasa Robertus Hariono S. Imam). Jakarta: PT Indeks.
Sugiyono. 2012. Metode Penelitian Pendidikan. Bandung: Alfabeta




You may also like

Tidak ada komentar:

Instagram