Ciri-ciri Instrumen yang Baik

Pengukuran (measurement) akan menghasilkan suatu deskripsi kuantitatif tentang aspek yang diteliti. Alat yang digunakan adalah tes yang distandardisasikan (Standardized test), yang memuat koleksi persoalan, pertanyaan atau tugas, yang dianggap representatif bagi aspek yang bersangkutan (sample of items). Standardisasi berarti, bahwa cara penyelenggaraan tes, cara memeriksanya dan penentuan norma penafsiran adalah seragam.
Norma penafsiran ditentukan dengan memberikan tes itu kepada kelompok besar orang yang dianggap representatif (sample) bagi semua subjek yang akan dikenai tes itu (populasi), dengan menentukan hasil rata-rata (skor rata-rata, skor deviasi). Tes merupakan instrumen penelitian yang objektif, dalam arti bahwa penyelenggaraan,  pemeriksaan atau skoring, dan penafsiran tidak tergantung pada pendapat pribadi orang yang menggunakan alat itu, juga validitas dan taraf reliabilitas keseluruhan tes serta taraf kesukaran dan taraf diskriminasi masing-masing item dalam tes.
A.    Validitas
Suatu instrumen dikatakan valid atau mempunyai validitas yang tinggi apabila alat itu bentuk mampu mengukur dan menilai apa yang ingin diukur atau dinilai. Oleh karena itu validitas suatu intrumen merujuk kepada ketepatan suatu intrumen menilai apa yang ingin dinilai, suatu instrumen dirancang untuk suatu objek assessmen dan tidak valid untuk yang lain, karena setiap intrumen dirancang untuk tujuan tertentu, sehingga kisi-kisi yang disusun berdasarkan tujuan yang telah dirumuskan sebelumya.
Anastasi dan Urbina (dalam Lufri, 2007) menyatakan bahwa validitas adalah suatu ukuran yang menunjukkan sejauhmana suatu alat ukur itu dapat mengukur apa yang hendak diukur. Oleh karena itu, validitas suatu instrumen merujuk kepada ketepatan suatu instrumen mengukur apa yang ingin diukur.
Menurut A. Muri, Yusuf (2005:64) konsep validitas menunjukkan kesesuaian, kebermaknaan, dan kebergunaan, kesimpulan-kesimpulan yang dibuat berdasarkan skor instrumen. Sedangkan menurut Sugiyono (2010:212) valid adalah berarti instrumen (alat) tersebut dapat digunakan untuk mengukur apa yang harus diukur.
Menurut Winkel, W.S (1997) Pengertian validitas  menunjuk pada kesesuaian antara apa yang diteliti dalam tes dengan aspek yang direncanakan untuk diteliti melalui tes itu; misalnya, bilamana suatu tes intelegensi memiliki validitas yang tinggi, berarti bahwa tes itu benar-benar mengukur kemampuan untuk mencapai prestasi di sekolah, yang di dalamnya berpikir memegang peranan pokok. Terdapat empat jenis validitas, yaitu validitas isi (content validity), validitas peramal (predictive validity), validitas perbandingan (concurrent validity), dan valitidas konseptual (construct valitidy). Jenis validitas tes yang paling relevan bagi pelayanan bimbingan di sekolah adalah validitas isi dan validitas peramal. Karena lebih berguna bagi keperluan bimbingan daripada suatu tes yang baru saja dikembangkan dan hanya diketahui taraf validitas perbandingan atau taraf konseptual.
Validitas tidak berlaku universal sebab bergantung pada situasi dan tujuan penelitian. Instrumen yang telah valid untuk suatu tujuan tertentu belum otomatis akan valid untuk tujuan yang lain. Menurut Joko Subagyo (1997:38) mengemukakan bahwa faktor penunjang diperolehnya data yang valid adalah:
1.      Kualitas pengambil data, secara relatif dapat diharapkan dalam mencapai keinginan permasalahan yang dirumuskan.
2.      Alat yang tersedia, lengkapnya alat pengumpul data yang ditunjang persiapan matang akan dapat menggali informasi dalam menentukan hasil penelitian.

B.     Reliabelitas
Menurut A. Muri Yusuf (2011:78) reliabilitas adalah ketepatan pengukuran, tetapi tentang konsistensi dan ketelitian dalam mengukur apa yang harusnya diukur. Sedangkan menurut  Wrigtstone (dalam A. Muri Yusuf 2011:78) mengemukakan bahwa “reliability is commonly defined asa an estimate of degree of consistence, constancy among repeated measurements of individuals with the same instrument”.
Reliabilitas atau keterandalan suatu instrumen sebagai alat ukur dimaksudkan untuk mengetahui sejauh mana kebenaran suatu alat ukur tersebut cocok digunakan sebagai alat ukur untuk mengukur sesuatu. Anne Anastasi (1998:63) mengemukakan bahwa reliabilitas merujuk pada konsistensi skor yang dicapai oleh orang yang sama ketika mereka diuji ulang dengan tes yang sama pada kesempatan yang berbeda, atau dengan seperangkat butir-butir ekuivalen yang berbeda, atau di bawah kondisi pengujian yang berbeda. Dikatakan juga sebagai ketahanan ujian sesuatu pada tingkat mana, jika diadakan pengujian ulang dengan menghasilkan hasil yang sama.
Menurut Sugiyono (2012:174) mengemukakan bahwa reliabilitas instrumen merupakan syarat untuk menguji validitas instrumen. Pengujian reliabilitas instrumen perlu dilakukan adalah:
1.      Suatu hasil pengukuran dapat dipercaya apabila dalam beberapa kali pelaksanaanya pengukuran terhadap kelompok subjektif yang sama diperoleh hasil pengukuran yang relatif sama.
2.      Reliabilitas adalah sejauh mana pengukuran dari suatu uji coba yang dilakukan tetap memiliki hasil yang sama meskipun dilakukan secara berulang-ulang terhadap subjek data dalam kondisi yang sama.
3.      Uji reliabilitas bertujuan untuk melihat sejauhmana konsistensi skor terhadap suatu instrumen.
Suatu intrumen yang baik harus valid dan reliable namun perlu dicermati dengan baik pernyataan berikut : suatu yang valid atau sahih adalah reliable, tetapi sesuatu intrumen yang reliable belum tentu valid. Reliabilitasi suatu intrumen menunjuk pada ketetapan, konsistensi, atau stabilitas intrumen atau suatu pengukuran yang dilakukan, Pada bulan September 1986 seorang pendidik mengemukakan intrumen intelegensi pada peserta didik setelah diskor ternyata  A =130. B = 120, sebulan kemudian peserta didik yang sama diukur lagi dengan intrumen intelegnsi yang digunakan pada bulan September 1986 itu ternyatanya sebagai berikut : A= 132, B=121. Perbedaan intelegensi pada periode pertama dan kedua setelah diuji secara statistic ternyata tidak berbeda secara berarti atau skor mereka mempunyai korelasi yang tinggi, maka dikatakan intrumen itu mempunyai  realibilitas yang tinggi.
C.    Objektif
Menurut A. Muri Yusuf (2005:62) objektif suatu alat ukur menunjuk kepada kesamaan skor atau diagnosis yang diperoleh dari data yang sama apabila dilakukan oleh penskor/penilai dengan kualitas yang sama. Penskor hendaknya menilai/menskor apa-adanya, tanpa dipengaruhi oleh subjektif penskor atau faktor-faktor lainnya diluar yang tersedia.
Seandainya suatu instrumen diadministrasikan pada seorang anak, dan kemudian diperiksa oleh dua orang pemeriksa, maka anak tersebut tidak akan berbeda secara berarti. Suatu instrumen diadministrasikan secara objektif, apabila instrumen itu diberikan sesuai dengan manual atau patokan pengadministrasian yang telah disediakan.
Pada suatu tes yang objektif, pengambil tes (testi) seharusnya memperoleh skor yang sama dari pemberi skor (skorer dan/tester) yang berbeda. Dengan demikian, yang objektif itu adalah penilainya. Sebuah tes dikatakan bersifat objektif apabila dalam pelaksanaan, penilaian dan pengartian nilainya tidak tergantung pada penilaian subjektif dari satu pihak yang terkait dengan kegiatan tersebut.
D.    Praktis
      Ciri-ciri tes yang memenuhi persyaratan pratikalitas yang dijelaskan oleh A Muri Yusuf (2005:103) adalah sebagai berikut:
1.      Biaya yang digunakan tidak terlalu tinggi
Faktor biaya merupakan faktor yang tampaknya tidak penting tetapi perlu diperhatikan. Testing adalah sesuatu yang tidak mahal, namun kalau digunakan dengan cara yang tidak tepat akan mempengaruhi pelaksanaan tes itu. Sehubungan dengan itu akan lebih baik bila dirancang suatu tes yang dapat dipakai secara berulang-ulang sehingga akan menimbulkan penghematan dalam biaya.
2.      Mudah diadministrasikan
a.       Alat ukur itu mudah diberikan kepada mahasiswa, dengan petunjuk yang jelas bagaimana cara mengerjakannya dan mudah dimengerti, sehingga dosen tidak perlu lagi memberikan penjelasan-penjelasan.
b.      Alat ukur itu mudah dilaksanakan dan waktu yang disediakan cukup dibandingkan dengan tingkat kesukaran alat ukur itu.
c.       Mudah dikumpulkan kembali setelah waktu yang tersedia untuk mengerjakan habis.
3.      Mudah diskor
a.       Ada standar yang dapat digunakan sehingga hasilnya lebih homogen.
b.      Siapa saja yang memeriksa kertas jawaban ujian dalam waktu yang berlainan, hasil/skornya tidak akan berubah
c.       Waktu yang digunakan untuk memeriksa hasil ujian itu tidak terlalu lama.
d.      Pemeriksa hasil ujian itu tidak perlu orang yang ahli betul dalam bidang yang di tes itu.
4.      Mudah diinterpretasikan
Skor yang didapat sebagai hasil dari pengukuran belum mempunyai arti kalau skor itu tidak diterjemahkan atau diinterpretasikan.
5.      Waktu yang tepat dan tidak terlalu lama
Tes yang pengerjaannya memakan waktu terlalu lama akan membosankan dan sebaliknya tes yang terlalu cepat juga merugikan, walaupun tes itu mungkin power test atau speed test.
E.     Norma
A Muri Yusuf (2005:106) mengemukakan bahwa untuk mendapatkan informasi dan pengambilan keputusan yang tepat, maka alat ukur yang baik haruslah mempunyai norma sebagai patokan, sehingga memberikan kesimpulan yang tepat. Norma alat ukur ditentukan oleh tujuan yang ingin dicapai.
Anne Anastasi (1998:36) menjelaskan bahwa skor-skor pada tes psikologis paling umum diinterpretasikan dengan acuan pada norma-norma yang menggambarkan kinerja tes dari sampel standardisasi. Dengan demikian, norma-norma secara empiris ditetapkan dengan menentukan apa yang sesungguhnya dilakukan oleh orang-orang dalam kelompok representatif itu.







KEPUSTAKAAN
Yusuf, A  Muri. 2011. Asesmen dan Evaluasi Pendidikan. Padang: UNP Press
Winkel, W.S. 1997. Bimbingan Dan Konseling Di Institusi Pendidikan (Edisi Revisi). Jakarta: PT. Gramedia Widiasarana Indonesia
Anastasi, Anne. 2007. Psichological Testing (Alih Bahasa Robertus Hariono S. Imam). Jakarta: PT Indeks.
Sugiyono. 2012. Metode Penelitian Pendidikan. Bandung: Alfabeta



KONSEP PENGUKURAN ASESMEN DAN PENILAIAN DALAM BK
A.    Pengertian Pengukuran
Pengukuran adalah membandingkan sesuatu dengan satu ukuran, pengukuran bersifat kuantitatif. Secara sederhana pengukuran dapat diartikan sebagai kegiatan atau upaya yang dilakukan untuk memberikan angka-angka pada suatu gejala, peristiwa atau benda, sehingga hasil pengukuran akan selalu berupa angka.
Menurut Suharsimi Arikunto (2012:3) menyatakan bahwa mengukur adalah membandingkan sesuatu dengan satu ukuran, data yang diukur berupa:Intrumen tes (tes IQ, tes hasil belajar, dll) sedangkan intrumen non tes (aum umum, sosiometri, angket, dll). Menurut A. Muri Yusuf, (2011:10) konsep dalam Pengertian Pengukuran ada 3 yaitu:
a.       Angka atau simbol
Angka atau simbol yang dapat diolah secara statistik atau di manipulasi secara matematis, seperti 1,2,3 dan seterusnya atau I,II,III dan seterusnya.
b.      Penerapan
Ini berarti bahwa angka atau simbol itu diterapkan terhadap objek atau kejadian tertentu yang dimaksud
c.       Aturan
Aturan itu dimaksudkan sebagai patokan tentang benar/ tidaknya tindakan yang dilakukan atau sesuatu kejadian atau objek yang dikuasai seseorang. Umpama: Menurut aturan yang berlaku, untuk mengukur tinggi seseorang digunakan satuan cm, untuk berat badan satuannya kg, untuk suhu badan satuaanya adalah celcius.
Hasil pengukuran akan ditentukan oleh kecanggihan alat ukur/instrument yang dipakai, pengadministrasian yang tepat serta pengolahan data menurut pola yang sebenarnya berdasarkan patokan yang disepakati Berdasarkan konsep di atas, pengukuran dalam proses belajar mengajar dalam pendidikan merupakan suatu prosedur penerapan angka atau simbol terhadap suatu objek atau kegiatan maupun kejadian sesuai dengan aturan. Maka dari itu pengukuran merupakan suatu prosedur yang dapat digunakan dosen, guru maupun pendidik lainnya dalam mengumpulkan informasi kuantitatif dengan mengingat ketiga unsur di atas (angka, penerapan dan aturan). Hasil pengukuran berupa angka atau simbol lain yang menggambarkan keadaan sebenarnya. Selanjutnya ada tiga langkah dalam melaksanakan pengukuran diantaranya sebagai berikut:
1.      Mengidentifikasi dan merumuskan atribut atau kualitas yang akan diukur.
2.      Menentukan seperangkat operasi yang dapat digunakan untuk mengukur atribut tersebut.
3.      Menerapkan seperangkat prosedur atau definisi untuk menerjemahkan hasil pengukuran ke dalam pernyataan/ data kuantitatif.
B.     Asesmen
Secara umum asesmen merupakan suatu prosedur pengumpulan informasi tentang orang atau berkenaan dengan orang. Asesment dalam bidang pendidikan yaitu suatu prosedur pengumpulan informasi yang dapat digunakan untuk pengambilan keputusan tentang kebijakan dalam bidang pendidikan, program, mutu, input dan proses pendidikan, serta penguasaan peserta didik terhadap semua hal yang telah dibelajarkan kepadanya.
Asesmen merupakan salah satu kegiatan  pengukuran. Dalam konteks bimbingan konseling, asesmen yaitu mengukur suatu proses konseling yang harus dilakukan konselor  sebelum, selama, dan setelah konseling tersebut dilaksanakan/ berlangsung (Ratna Widiastuti, 2011). Asesmen merupakan salah satu bagian terpenting dalam seluruh kegiatan yang ada dalam konseling (baik konseling kelompok maupun konseling individual). Karena itulah asesmen dalam bimbingan dan konseling merupakan bagian yang terintegral dengan proses terapi maupun semua kegiatan bimbingan dan konseling itu sendiri. Asesmen dilakukan untuk menggali dinamika  dan faktor penentu yang mendasari munculnya masalah.
Dinyatakan pula oleh Linn dan Grondlund bahwa assessment (penilaian) adalah suatu istilah umum yang meliputi prosedur yang digunakan untuk mendapatkan informasi tentang belajar siswa (observasi, rata-rata pelaksanaan tes tertulis) dan format penilaian kemajuan belajar, Selain itu, Popham mengemukakan bahwa assessment dalam pembelajaran adalah suatu proses atau upaya formal pengumpulan informasi yang berkaitan dengan variable-variabel penting pembelajaran sebagai bahan dalam pengambilan keputusan oleh guru untuk memperbaiki proses dan hasil belajar siswa.
A.Muri Yusuf (1998: 10) mengartikan evaluasi sebagai pemberian arti terhadap informasi yang didapat melalui pengukuran atau melalui cara lain untuk menentukan atau mengambil keputusan tentang sesuatu sesuai dengan informasi yang diperoleh itu. Sehingga dapat dikatakan pula bahwa evaluasi merupakan usaha membandingkan hasil pengukuran dan atau cara-cara lainnya dengan patokan sehingga melahirkan keputusan.
Jadi, dapat disimpulkan bahwa evaluasi merupakan proses yang sistematis dan berkelanjutan untuk mengumpulkan, mendeskripsikan, mengintepretasikan dan menyajikan informasi untuk dapat digunakan sebagai dasar membuat keputusan, menyusun kebijakan maupun menyusun program selanjutnya berdasarkan asesmen.
Pengukuran, penilaian dan evaluasi bersifat hirarki. Evaluasi didahului dengan penilaian (assessment), sedangkan penilaian didahului dengan pengukuran. Pengukuran diartikan sebagai kegiatan membandingkan hasil pengamatan dengan kriteria, penilaian (assessment) merupakan kegiatan menafsirkan dan mendeskripsikan hasil pengukuran, sedangkan evaluasi merupakan penetapan nilai atau implikasi perilaku.


C.    Evaluasi
Evaluasi merupakan suatu proses untuk menjelaskan secara sistematis untuk memberi nilai secara objektif, efisien, dan efektif serta untuk mengetahui dampak dari suatu kegiatan dan juga membantu pengambilan keputusan untuk perbaikan satu atau beberapa aspek program perencanaan yang akan datang.
Menurut Suharsimi Arikunto (2004: 1) evaluasi adalah kegiatan untuk mengumpulkan informasi tentang bekerjanya sesuatu yang selanjutmya informasi tersebut digunakan untuk menentukan alternatif yang tepat dalam mengambil keputusan. Fungsi utama evaluasi dalam hal ini adalah menyediakan informasi yang berguna bagi pihak yang membuat keputusan untuk menentukan kebijakan yang akan diambil berdasarkan evaluasi yang telah dilakukan.
Dalam Undang-undang No 20 Tahun 2003, tentang Sistem Pendidikan Nasional disebutkan pada bab XVI.
Pasal 57
1.      Evaluasi dilakukan dalam rangka pengendalian mutu pendidikan secara nasional sebagai bentuk akuntabilitas penyelenggara pendidikan kepada pihak yang berkepentingan.
2.      Evaluasi dilakukan terhadap peserta didik, lembaga, dan non formal untuk jenjang, satuan, dan jenis pendidikan.
Pasal 58
1.        Evaluasi belajar peserta didik dilakukan oleh pendidik untuk memantau proses, kemajuan, dan perbaikan belajar peserta didik secara berkesinambungan.
2.        Evaluasi peserta didik, satuan pendidikan dan program pendidikan dilakukan oleh lembaga mandiri secara berkala, menyeluruh, transparan, dan sistemik untuk menilaian pencapaian standar nasional pendidikan
Sedangkan dalam peraturan pemerintah No. 19 tahun 2005, tentang standar nasional pendidikan dikemukakan:
Bab I. ketentuan umum, pasal 1, Point 18:
18.    Evaluasi pendidikan adalah kegiatan pengendalian, penjaminan, dan penetapan mutu pendidikan terhadap berbagai komponen pendidikan pada setiap jalur, jenjang, dan jenis pendidikan sebagai bentuk pertanggung jawaban penyelenggara pendidikan. (A.Muri Yusuf 2011: 22)
Kata “penilaian” yang digunakan dewasa ini lebih dekat pengertiannya pada assessment, bukan pada evaluation. Sedangkan kata evaluation diindonesiakan menjadi evaluasi sebagai kegiatan pengendalian mutu pendidikan. Evaluasi pendidikan dapat diartikan sebagai kegiatan pemberian arti, nilai dan makna terhadap hasil asesmen dalam pendidikan atau pembelajaran dengan patokan, aturan atau standar yang telah ditetapkan. Jadi, dapat disimpulkan bahwa evaluasi merupakan suatu proses pemberian makna, arti, nilai atau kualitas tentang suatu objek yang dievaluasi atau penyusunan suatu keputusan tentang suatu objek berdasarkan asesmen (A.Muri Yusuf 2011: 21).
Jadi, dapat disimpulkan bahwa evaluasi merupakan proses yang sistematis dan berkelanjutan untuk mengumpulkan, mendeskripsikan, mengintepretasikan dan menyajikan informasi untuk dapat digunakan sebagai dasar membuat keputusan, menyusun kebijakan maupun menyusun program selanjutnya berdasarkan asesmen.
Menurut Daniel L. Stufflebeam dan Egon G. Guba (dalam A. Muri Yusuf, 2005: 16) evaluasi dapat diartikan sebagai suatu proses penggambaran, pemerolehan, dan penyediaan informasi yang berguna untuk penetapan alternatif keputusan. Berdasarkan pendapat di atas ada beberapa hal yang perlu mendapat perhatian yaitu sebagai berikut:
1.      Evaluasi dibangun dalam kerangka jasa untuk pembuatan keputusan yaitu penyediaan informasi yang berguna bagi pengambil keputusan.
2.      Evaluasi itu suatu siklus, suatu proses yang terus menerus dalam suatu program.
3.      Proses evaluasi mencakup tiga langkah utama yaitu:
a.       Penggambaran informasi yang dibutuhkan dan perlu dikumpulkan melalui evaluasi.
b.      Cara pemerolehan, pengadaan dan pengumpulan informasi
c.       Penyediaan informasi yang berguna
4.      Dalam konstruksi evaluasi ada tiga konsep yaitu memberikan pertimbangan, nilai dan arti.

D.    Penilaian dalam BK
Asesmen yang diberikan kepada klien merupakan pengembangan  dari area kompetensi dasar pada diri klien yang akan dinilai, yang kemudian akan dijabarkan dalam bentuk indikator-indikator. Pada umumnya asesmen bimbingan konseling dapat dilakukan dalam bentuk laporan diri, performance test, tes psikologis, observasi, wawancara, dan lain sebagainya.
Hood & Johnson (1993) dalam (http://counselingcare.blogspot.co.id/2012/06/assessment-dalam-bk.html) menjelaskan ruang lingkup dalam asesmen (assesment need areas) dalam bimbingan dan konseling ada lima, yaitu:
1.      Systems asessmen, yaitu asesmen yang dilakukan untuk mendapatkan informasi mengenai  status dari suatu sistem, yang membedakan antara apa ini (what is it) dengan apa yang  diinginkan (what is desired) sesuai dengan kebutuhan dan hasil konseling; serta tujuan yang sudah dituliskan/ ditetapkan atau outcome yang diharapkan dalam konseling.
2.      Program planning, yaitu perencanaan program untuk memperoleh informasi-informasi yang dapat digunakan untuk membuat keputusan dan untuk menyeleksi bagian–bagian program yang efektif dalam pertemuan-pertemuan antara konselor dengan klien; untuk mengidentifikasi kebutuhan-kebutuhan khusus pada tahap pertama. Di sinilah muncul fungsi evaluator dalam asesmen, yang memberikan informasi-informasi  nyata  yang potensial. Hal inilah yang kemudian membuat asesmen menjadi efektif, yang dapat membuat klien mampu  membedakan  latihan yang dilakukan pada saat konseling dan penerapannya di kehidupan
nyata dimana klien harus membuat suatu keputusan, atau memilih alternatif-altenatif yang dapat digunakan untuk menyelesaikan masalahnya.
3.      Program Implementation, yaitu bagaimana asesmen dilakukan untuk menilai pelaksanaan program dengan memberikan informasi-informasi nyata; yang menjadikan program-program tersebut dapat dinilai apakah sesuai dengan pedoman.
4.      Program Improvement, dimana asesmen dapat digunakan dalam dalam perbaikan program, yaitu yang berkenaan dengan:
·         Evaluasi terhadap informasi-informasi yang nyata.
·         Tujuan yang akan dicapai dalam program.
·         Program -progam yang berhasil.
·         Informasi-informasi yang mempengaruhi proses pelaksanaan program-program yang lain.
5.      Program certification, yang merupakan akhir kegiatan. Menurut Center for the Study of Evaluation (CSE), program sertifikasi adalah suatu evaluasi sumatif, hal ini memberikan makna bahwa pada akhir kegiatan akan  dilakukan evaluasi akhir  sebagai dasar untuk memberikan sertifikasi kepada klien. Dalam hal ini evaluator berfungsi  pemberi informasi mengenai hasil evaluasi yang akan digunakan  sebagai dasar untuk mengambil keputusan.
Fungsi evaluasi dalam BK merupakan suatu tahapan yang dapat dipergunakan untuk melihat keefektifan layanan. Penilaian dilakukan untuk mengetahui keberhasilan layanan bimbingan dan konseling. Evaluasi bimbingan dan konseling merupakan proses pemberian penilaian terhadap kegiatan dan keberhasilan berbagai program bimbingan dan konseling di sekolah yang dilakukan melalui pengumpulan data, pengolahan data, serta analisis data yang akan dijadikan dasar untuk membuat keputusan.
Jadi dapat disimpulkan bahwa fungsi evaluasi dalam BK yaitu secara umum untuk mengetahui ketercapaian pelaksaan pelayanan bimbingan dan konseling, dan secara khusus untuk memperbaiki dan meningkatkatkan akuntabilitas program bimbingan dan konseling.









KEPUSTAKAAN
Suharsimi Arikunto. 2012. Dasar-dasar evaluasi pendidikan. Jakarta: Bumi
Aksara.
Yusuf, A. Muri. 2011. Asasmen dan Evaluasi Pendidikan. Padang: UNP
____________.1998. Dasar-dasar dan Teknik Evaluasi Pendidikan. Padang: IKIP
                  Padang
Ratna Widiastuti. 2010. “Asessmen Intrumen Untuk Melakukan Asesmen dalam Bimbingan dan Konseling”. (online), (http://blog.unila.ac.id).
Hood & Johnson. 1993. (online) (http://counselingcare. blogspot.co.id/2012/06/assessment-dalam-bk.html)



BAB I
PENDAHULUAN
Tuhan yang maha pemurah memberikan segenap kemampuan potensi kepada manusia, manusia sebagai yang telah dibekali berbagai potensi. Dengan mengembangkan potensi tersebut diharapkan manusia menjalankan tugasnya sesuai dengan apa yang telah diperintahkan agama. Diantara potensi tersebut adalah potensi beragama.

Menurut Nurcholis Majid “agama merupakan fitrah munazalah (fitrah yang diturunkan) yang diberikan allah untuk menguatkan fitrah yang ada pada manusia secara alami. Fitrah Allah: Maksudnya ciptaan Allah. manusia diciptakan Allah mempunyai naluri beragama Yaitu agama tauhid. kalau ada manusia tidak beragama tauhid, Maka hal itu tidaklah wajar. mereka tidak beragama tauhid itu hanyalah lantara pengaruh lingkungan. Maka hadapkanlah wajahmu dengan Lurus kepada agama Allah; (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. tidak ada peubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui. Tetaplah atas fitrah allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu, Tidak ada perubahan pada fitrah allah. Itulah agama yang lurus :tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui





BAB II
PEMBAHASAN

A.    Definisi Konseling
Istilah konseling berasal dari bahasa Inggris "counseling" artinya dikaitkan dengan kata "counsel" memiliki beberapa arti, yaitu nasihat, anjuran. Berdasarkan arti tersebut, konseling secara etimologis berarti pemberian nasihat, anjuran, dan pembicaraan dengan bertukar pikiran.
Konseling merupakan proses pertemuan tatap muka atau hubungan timbal balik antara pembimbing (konselor) dan konseli, dengan tatap muka untuk mengentaskan masalah konseli yang dihadapinya berdasarkan penentuannya sendiri

B.     Potensi Dasar Manusia dalam menyelesaikan masalah
Fitrah merupakan potensi dasar manusia yang memilki sifat kebaikan dan kesucian untuk mnerima pengaruh dari luar menuju pada kesempurnaan dan kebenaran.
Nabi SAW pernah bersabda : tidak ada seorang anakpun yang dilahirkan kecuali ia dilahirkan dalam keadaan fitrah, maka kedua orangtuanya dapat mengalihkannya menjadi yahudi, nasrani, sebagaimana halnya binatang yang normal akan melahirkan anak yang normal pula.  
Dalam menjalani itu semua setiap individu mengalami suatu masalah. Permasalahan kehidupan adalah setiap keadaan yang menyebabkan perubahan kehidupan seseorang, sehingga orang itu dapat mengentaskan permasalahan kehidupan tersebut yang menghadang. Namun tidak semua orang mampu mengentaskannya, sehingga timbulah keluhan-keluhan kejiwaan seperti bimbang dalam menentukan suatu pilihan yang menimbulkan suatu kegelisahan.
Individu atau kelompok masyarakat islam, agar bisa memahami ajaran islam yang berpedoman  kepada Al-qur`an sebagai  ajaran yang lengkap terhadap berbagai persoalan kehidupan. Pendekatan konseling Islami yaitu pendekatan konseling yang berdasarkan nilai-nilai dari Al-Quran dan Al-Hadits dalam mengentaskan masalah umat muslim. Islam adalah agama wahyu yang langsung dari Dzat Yang Maha Suci, Maha Benar, dan Maha sempurna. Oleh karma itu ajaran-Nya tidak akan mungkin bertentangan dengan fitrah manusia, tetapi justru Islam ingin memb'imbing kefitrahan manusia itu dalam jalan rel yang benar. Potensi manusia berdasarkan fitrah yaitu :
·         Ruh merupakan unsur potensi ketenagaan zat hidup yang menghidupkan, memiliki sifat arah pengembangan bakat kekuatan. Yang dimaksud unsur sifat kckuatan adalah kekuatan iman yang berfungsi untuk mengkokohkan hati. Diriwayatkan dari Ibnu `Abbas radhiyallahu 'anhumaa bahwa Rasulullah SAW. Bersabda "Cintailah kepada Allah karma nikmat-nikmat yang dicurahkan kepada kalian semua!." Dan dari nikmat-nikmat itulah maka adanya kekuatan iman sebagai pengokoh hati, pasti setiap saat hati mengalami goncangan terutama dalam menghadapi gejolak yang disebabkan perkembangan kehidupan.
·         Rasa merupakan unsur yang paling peka terhadap keindahan sifat-sifat Allah. Memiliki arah pengembangan bakat menjadikan menusia senantiasa tampil dalam keindahan dalam segala tindak perbuatan. Manusia yang tidak memiliki rasa (coati rasa), selamanya tidak akan bisa menikmati suatu keindahan. Meskipun is beranggapan dan mengakui bisa menikmati keindahan dengan rasa, tetapi yang mendorong munculnya keindahan adalah rasa nafsu, yang bersifat sementara dan selalu berubah-ubah. Sifat keindahan rasa yang dimunculkan dari dalam hati diserap langsung oleh hati dari sifat keindahan Allah kemudian disambut oleh unsur ketenagaan rasa, Den!an unsur sifat keindahan yang berbuah kelembutan dan kasih sayang, manusia dapat memanfaatkan bumf dan isinya tanpa menimbulkan kerusakan-kerusakan terhadap alam sekitarnya. Sifat indah yang dimaksud bukan sifat indah menurut ukuran manusia, melaiukan sifat indah yang diperoleh dari penyerapan sifat-sifat Allah."Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan melakukan aural salih, kelak Allah Yang Maha Pemurah akan menanamkan dalam (hati) mereka rasa kasih sayang." (Q.S. Maryam : 96).
·         Hati merupakan pusat kegiatan manusia, fun2si utamanya mendengar dan membaca seluruh isyarat gerak getar yang bersifat pemberitaan, balk yang b`erhubungan langsung dengan clam maupun langsung dengan Allah. Sebagaimana dinyatakan dalam Al-Quran, bahwa Allah menurunkan petunjuk-Nya ke dalam hat] manusia. "Barangsiapa Allah menghenciaki akan memberikan kepadanya hidayah, niscaya Dia melapangkan dadanya untuk (memeluk agama) Islam". (Q.S. Al-An'am :125).
·         Akal merupakan unsur yang dimiliki arah pengembangan bersifat untuk menjadikan manusia tampil membawa sifat kemuliaan. Sebagaimana yang telah diketahui hati yang terjaga kehidupannya akan menjadi pusat kegiatan yang bersifat hakiki karena dari hati itulah memancarkan berbagai macam keilmuan baik yang bersifat spiritual maupun intelektual.“ Sesungguhnya dalam dirimu terdapat dua hal yang di cintai Allah dan Rasul-Nya: akal (yang mampu berfikir dengan baik) dan sifat sabar”. (H.R. Muslimin).


Instagram